BERITA  

Sinyal Mundur, Kooptasi Polri Ancam Supremasi Sipil

Gandustv.com, Jakarta, – Wacana dan kebijakan di ranah keamanan nasional belakangan ini memunculkan kekhawatiran mendalam akan kembalinya pola-pola otoritarian masa lalu, di mana peran kepolisian sebagai penegak hukum sipil dikikis oleh bayang-bayang kekuatan bersenjata.

Dua dekade setelah Reformasi 1998 yang susah payah memisahkan Polri dari ABRI untuk menegakkan civilian policing, kini muncul tanda-tanda yang mengarah pada kooptasi halus, berpotensi mengembalikan Polri ke dalam sistem keamanan yang didominasi militer.

Isu pembentukan Kementerian Keamanan Nasional, peleburan fungsi-fungsi strategis Polri ke dalam lembaga ekstra-polri, hingga absennya korps Bhayangkara dalam perayaan hari besar militer, dinilai sebagai remiliterisasi ruang sipil yang mengancam supremasi sipil.

Kekhawatiran ini berakar pada sejarah panjang

Polri, yang didirikan pada 19 Agustus 1945, sebetulnya lahir lebih dulu daripada TNI (5 Oktober 1945), menunjukkan bahwa sejak awal Republik, ia adalah institusi pertama yang mengemban amanat hukum dan ketertiban sipil.

Namun, trauma Orde Baru saat Polri dilebur di bawah ABRI dan kehilangan otonomi profesionalnya kini seperti hendak terulang dalam wajah baru yang lebih halus, bersembunyi di balik narasi efisiensi menghadapi ancaman keamanan hibrida.

Reformasi 1998 dan Tap MPR No. VI–VII Tahun 2000 serta UU No. 2 Tahun 2002 merupakan tonggak penting yang memulihkan kemandirian Polri, dengan tujuan fundamental untuk memisahkan kekuasaan bersenjata dari penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan rakyat.

Prinsip dalam sistem demokrasi internasional sangat jelas

Militer menjaga kedaulatan negara dari luar, sementara Polisi menjaga keadilan dan ketertiban rakyat di dalam negeri (The military defends the nation; the police defend the people).

Pelibatan TNI dalam urusan siber, terorisme, dan narkoba, serta wacana struktur keamanan gabungan, secara perlahan mengikis batas tegas ini, yang pada akhirnya mematikan akuntabilitas publik dari institusi penegak hukum.

Polisi sejatinya bukan alat kekuasaan, melainkan perpanjangan tangan rakyat dalam hukum yang bekerja dengan diskresi, etika, dan empati berbeda total dari DNA militer yang bekerja dengan perintah dan daya paksa.

Ketika identitas profesional Polri hilang dan fungsinya dilebur dalam sistem bersenjata, legitimasi publik yang menjadi sumber kehidupannya akan runtuh.

Melemahkan Polri sama dengan melemahkan kontrol sipil atas kekuasaan bersenjata, sebuah langkah mundur yang berisiko menyeret negara kembali ke era represif di mana hukum tunduk pada senjata.

Oleh karena itu, penegasan kembali supremasi sipil menjadi krusial. Reformasi Polri harus dipandang sebagai upaya menjaga demokrasi konstitusional, bukan sekadar perbaikan manajemen internal.

Diperlukan penegasan batas domain yang jelas antara TNI dan Polri dalam kerangka keamanan nasional, penguatan lembaga pengawas seperti Kompolnas dan Ombudsman, serta pembangunan Good Policing Governance (GPGov).

GPGov menempatkan Polri sebagai penjaga trust and truth (kepercayaan dan kebenaran), bukan sekadar alat kekuasaan.

Mantan Ka BPKP dan juga selaku Alumni Lemhannas KRA-29 Komjen Pol (P) Drs. Didi Widayadi, MBA, menegaskan pentingnya peran Polri sebagai benteng sipil dalam demokrasi.

“Membela Polri bukan soal membela institusi, melainkan membela roh hukum dan demokrasi itu sendiri,” ujarnya, Rabu (8/10/25).

Menurutnya, Polri harus tetap berada di garda terdepan sebagai penjaga keadilan sipil, jauh dari kooptasi kekuatan yang bersenjata.

“Karena kita harus ingat, negara yang menundukkan polisi di bawah senjata, pada akhirnya akan menundukkan rakyat di bawah ketakutan,” pungkasnya.