Batasi Usia Pengguna Media Sosial, Lindungi Anak atau Batasi Ekspresi?

Gandustv.com, Palembang – Pemerintah Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Regulasi ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan UU ITE serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Salah satu substansi penting dalam PP ini adalah pembatasan usia penggunaan media sosial serta kewajiban platform digital untuk melakukan verifikasi pengguna anak dan persetujuan orang tua.

Kebijakan ini lahir dari kekhawatiran meningkatnya paparan anak terhadap konten berisiko tinggi seperti kekerasan, pornografi, ujaran kebencian, dan disinformasi di ruang digital. Namun di sisi lain, kebijakan ini memunculkan perdebatan publik: apakah langkah ini benar-benar melindungi anak, atau justru berpotensi membatasi ruang ekspresi dan kreativitas mereka di dunia maya?
Dari sisi teori komunikasi, kebijakan ini dapat dianalisis melalui konsep gatekeeping, di mana pemerintah dan platform digital berperan sebagai “penjaga gerbang” informasi. Dalam konteks perlindungan anak, gatekeeping memiliki nilai positif karena mencegah paparan terhadap konten negatif. Namun, bila dilakukan secara berlebihan tanpa transparansi, fungsi ini dapat berubah menjadi bentuk kontrol komunikasi yang mengurangi hak anak dalam memperoleh dan menyebarkan informasi.

Sementara itu, Uses and Gratifications Theory menyoroti bahwa anak-anak tidak hanya menggunakan media sosial untuk hiburan, tetapi juga untuk belajar, berinteraksi, dan membangun identitas sosial. Ketika akses ini dibatasi secara ketat tanpa disertai pendidikan literasi digital, anak justru berpotensi mencari alternatif yang lebih berisiko, seperti menggunakan akun palsu atau platform yang tidak terpantau.

Dari sudut pandang Communication Privacy Management Theory, regulasi ini juga perlu hati-hati dalam mengatur verifikasi data pribadi anak. Kewajiban platform untuk mengumpulkan data usia dan persetujuan orang tua berpotensi menimbulkan kekhawatiran publik mengenai keamanan dan penyalahgunaan data. Jika mekanismenya tidak transparan, hal ini dapat menurunkan trust masyarakat terhadap pemerintah maupun penyedia layanan digital. oleh: Riska Amelia (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma) dan Prof. Isnawijayani Guru Besar Ilmu Komunikasi Bina Darma.

Selain itu, teori agenda-setting menjelaskan bahwa framing media terhadap kebijakan ini akan sangat menentukan arah opini publik. Jika media hanya menyoroti aspek “perlindungan”, publik bisa menerima pembatasan ini tanpa kritis. Namun bila media juga mengangkat sisi “pembatasan ekspresi”, maka akan muncul diskursus yang lebih seimbang tentang bagaimana kebijakan publik harus diimplementasikan di era keterbukaan informasi.

Dalam konteks kebijakan publik, perlindungan anak dan kebebasan berekspresi bukanlah dua kutub yang harus dipertentangkan. Regulasi seperti PP Tunas seharusnya menjadi landasan untuk memperkuat ekosistem komunikasi digital yang aman, inklusif, dan edukatif, bukan sekadar membatasi. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan proteksi juga disertai edukasi literasi digital, pengawasan partisipatif, dan transparansi mekanisme.
Karena pada akhirnya, melindungi anak tidak berarti menutup mata mereka dari dunia digital, melainkan membekali mereka dengan kemampuan untuk melihat, memahami, dan menilai dunia digital dengan bijak.

oleh: Riska Amelia (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma) dan Prof. Isnawijayani (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma)